Halloween party ideas 2015

Foto: Bambang Widodo/pedulisekolah.com
“Selamat Datang Di Jatiluwih”. Tulisan itu terpampang jelas di pintu gerbang Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel,  Kabupaten Tabanan, Bali. Tulisan berwarna kuning emas, berlatarbelakang keramik warna hitam itu menjadi petanda sekaligus ucapan selama datang bagi siapapun yang bertandang  ke Desa Jatiluwih.

Memasuki Desa Jatiluwih, panorama yang menawan mulai terlihat.  Sejauh mata  memadang yang tampak  hamparan sawah dan padi Bali yang sudah mulai menguning.   Jalan menuju Jatiluwih  menanjak  dan berkelok. Semakin ke atas, pemandangannya semakin menawan.  Di kiri kanan jalan terlihat perbukitan dengan kemiringan lahan sekitar 30-40 derajat.

Meski  sebagian besar lahan di Desa Jatiluwih perbukitan, namun  masyarakat  disana masih bisa memanfaatkannya  sebagai sawah dengan membuat terasering. Dengan sistem terasering ini bukit-bukit yang dulunya hanya bisa dimanfaatkan sebagai tegalan kini  bisa dijadikan sawah dengan tetap memperhatikan aspek konservasinya. Menariknya lagi, sawah  terasering  ini juga  menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing maupun lokal.

Tak hanya itu saja. Di  kanan dan kiri  jalan juga  tampak beberapa kubu, bangunan kecil untuk memelihara sapi.  Bagi masyarakat Desa Jatiluwih, memelihara sapi di sawah  akan  memudahkan mereka untuk  memberi pakan sapi. Rumput yang tumbuh di pematang sawah  menjadi pakan sapi yang tak ada habisnya. Sementara kotoran sapinya juga di gunakan masyarakat Jatiluwih untuk  pupuk. “Kotoran  sapi  kami gunakan sebagai pupuk di sawah,” kata Pan Kerti, salah satu petani Desa Jatiluwih.

Sejatinya areal  persawahan  di Desa Jatiluwih tidaklah terlalu luas. Hanya sekitar 303 hektar. Sekalipun begitu  Jatiluwih  memberikan kontribusi  bagi Kabupaten Tabanan sebagai lumbung padi  di Provinsi Bali.

Ada dua jenis padi yang dibudidayakan di Subak Jatiluwih.  Pada musim tanam antara bulan Januari hingga  Februari,  masyarakat Jatiluwih menanam  padi  beras berwarna merah khas Jatiluwih. Beras merah Jatiluwih memiliki ciri khas tersendiri. Yakni  bulir beras agak pendek dibandingkan jenis berah merah lainnya.  Aroma beras merah Jatiluwih  juga sangat khas dan  rasanya gurih.

Sudah begitu  dalam  mengelola persawahnya, masyarakat Jatiluwih  juga  dilakukan secara organik. Mereka  tidak menggunakan pestisida. Sedangkan masa pemeliharaanya  sekitar 145 hari.
Sementara pada musin cicih,  sekitar bulan Juli hingga  Agustus petani diperbolehkan menanam padi lainnya termasuk padi hibrida.  Masam panen padi hibrida  sekitar 115 hari.  Setelah itu anggota subak akan menanam palawija. Tujuannya  untuk rotasi tanaman dan menjaga keseimbangan hara tanah.

Cermin Prinsip Tri Hita Karana
Menariknya,  semua  kegiatan bercocok tanam di Jatiluwih  dilakukan dengan cara  musyawarah terlebih dahulu.  Seluruh kegiatan bercocok tanam di kawasan Subak Jatiluwih diatur oleh kelian subak atau pekaseh  Subak merupakan organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah untuk cocok tanam padi.

Sejatinya, keberadaan subak mulai ada sekitar  Tahun1072, atau 940 tahun silam setelah sistem pertanian itu mulai ditemukan di Bali.  Hanya saja sepanjang kurun waktu tersebut, subak terus mengalami proses transformasi.

Di Jatiluwih subak dibagi menjadi tujuh tempek. Masing-masing  tempek diketuai seorang kelian tempek. Biasanya, subak memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul. Pura itu dibangun petani diperuntukkan kepada Ida Sang Hyang Widi dalam perwujudan Dewi Sri, dewi kemakmuran dan kesuburan.

Sebelum kegiatan bercocok tanam dilakukan, petani dengan dikoordinasi para kelian tempek akan melakukan upacara di masing-masing Pura Bedugul.  Hal ini bertujuan agar padi yang ditanam hidup subur dan tidak terserang penyakit hingga dipanen tiba.

Sejatinya pola bercocok tanam dengan sistem subak merupakan penerapan yang   prinsip Tri Hita Karana.  Dalam  penerapannya prinsip Tri Hita Karana    selalu diupayakan adanya keseimbangan hubungan antara  manusia dengan alam yakni sawah, manusia dengan manusia sebagai pelaku anggota subak dan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta.

Sejatinya pola bercocok tanam dengan sistem subak merupakan penerapan yang   prinsip Tri Hita Karana.

Karena itu bagi masyarakat Bali, Prinsip Tri Hita Karana tak hanya sekedar konsep  saja. Namun benar-benar jalankaan.  Tengok  saja  apa yang dilakukan masyarakat  anggota subak  di Desa Jatiluwih. Di kawasan ini berdiri Pura Batukaru yang dikelilingi 4 pura lainnya. Yakni disebelah utara ada Pura Puncak Petali, disebelah timur ada Pura Besi Kalung , disebelah selatan ada Pura Tamba Waras, dan Pura Muncak Sari  di sebelah barat. Hal ini sering disebut dengan catur lawa dan pesanakan dari Pura Batukaru.

Hal ini menunjukan adanya satu kesatuan dari kawasan subak.  yaitu Pura Puncak Petali di sebelah utara, Pura Besi Kalung sebelah Timur, Pura Tamba Waras sebelah selatan dan Pura Muncak Sari, di sebelah barat, yang sering disebut dengan catur lawa dan pesanakan dari Pura Batukaru.  Di sebelah utara kokoh berdiri Gunung Batukaru yang berdampingan dengan Danau Tamblingan yang juga merupakan wujud nyata lingga yoni.

Menurut Ketut Sadriasa, kelian tempek Besikalung, kegiatan petani di Jatiluwih, dan beberapa Desa di sekitarnya, sebelum kegiatan bercocok tanam dilakukan, selalu diawali  dengan matur piuning atau mohon restu  di pelinggih ulun sawah dan pura besar lainnya.

Seluruh kegiatan bercocok tanam mulai dari mapag toyo atau mengambil air dan mengalirkan air ke sawah, ngurit atau membuat benih padi, nandur atau menanam benih, padi inget, padi bunting, panen sampai padi dimasukkan ke lumbung selalu diawali dengan upacara.
Semua ini menurut Ketut Sadriasa dilakukan  dengan kesadaran adanya Sang Hyang Widhi yang menentukan segala hasil. Sedangkan manusia bertugas sebagai pelaku yang harus mengupayakan secara maksimal.  “Ini menjadi cerminan yang larut dari hubungan manusia dengan Sang Pencipta,” kata Ketut Sadriasa.

Sedangkan untuk  memulai menggarap sawah, pengaturan air serta  dan kapan saatnya menanam palawija,  menurut Ketut Sadriasa selalu dimusyawarahkan dengan anggota subak lainnya. Selain itu pemeliharaan saluran air irigasi juga dikerjakan dengan gotong royong.  “Inilah pelaksanaan keseimbangan hubungan manusia dengan manusia,” kata Ketut Sadriasa.

Lebih lanjut Ketut Sadriasa  juga mengungkapkan masyarakat di Jatiluwih tidak berani  menebang pohon di hutan Batukaru. Apalagi merusak kawasan hutan.  Semua ini didasari atas kesadaran keberadaan hutan dan Gunung Batukaru sebagai sumber serapan air yang akan menjamin keberadaan air sepanjang tahun.

Sedangkan  sawah  bagi masyarakat Jatiluwih kata Ketut Sadriasa adalah “ibu pertiwi”. Sebab dari sanalah  manusia dan tumbuhan mendapatkan kehidupan berupa makanan.  Bumi dan tumbuhan sudah sewajarnya diberikan “makanan” alami yang terbaik yang bersumber dari alam, yaitu pupuk organik yang tidak mencemari Ibu Pertiwi.  “Ini juga sebagai cerminan pelaksanaan yang larut hubungan antara manusia dengan alam,” kata Ketut Sadriasa.

Warisan Dunia
Masyarakat Bali patut berbangga Hati. Pasalnya, subak, system pengairan khas masyarakat Bali, diakui sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 2012 lalu. Apalagi untuk mendapat  pengakuan  sebagai Warisan  dunia itu juga tidak mudah.  Paling tdak sudah diperjuangkan sejak 12 tahun silam.
Sesuai dengan pengajuannya, subak Bali  luasnya sekitar 20 ribu hektar. Arealnya terdapat di lima kabupaten. Yakni  di Kabupaten  Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan.

Prof Dr I Wayan Windia, MS, yang menjabat sebagai The secretary of the World Cultural Heritage planning and proposal committee, berharap pemerintah Indonesia menjaga kelestarian subak. Pemda Tabanan sudah  mengeluarkan perda yang melarang alih fungsi lahan subak di kawasan warisan budaya dunia  agar dapat diteruskan sampai ke anak cucu.

BAMBANG WIDODO

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.