Masyarakat Asmat hidup dalam kesederhanaan. Makan sagu, ulat sagu yang kaya protein, dan ikan segar.
Hidup sejahtera penuh kedamaian. Foto-foto: CAHYO AJI
|
Untuk mengunjungi pedalaman Asmat paling aman ditempuh melalui jalur air atau dengan berjalan kaki. Curah hujan yang tinggi, sekitar 3.000-4.000 milimeter per tahun ditambah dengan pasang surut laut Arafuru membuat tanah di daerah Asmat lembek dan tidak memungkinkan untuk dibangun jalan aspal. Kita perlu ekstra hati-hati menempuh jalan setapak yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain di Asmat.
Sementara untuk perjalanan yang ekstra jauh seperti mencari sagu atau gaharu di hutan, mereka menggunakan perahu yang terbuat dari kayu besi. Perahu-perahu orang Asmat cukup unik dan cantik. Ujung perahu dihiasi ukiran khas Asmat, dan badan perahu berukuran 8 meter itu dicat warna merah dan putih.
Sebulan sekali masyarakat Asmat pergi ke hutan mencari sagu. Gelondongan batang sagu dibelah menjadi dua. Bagian dalam yang berwarna putih ditumbuk, kemudian sagu dicuci dalam palung yang terbuat dari daun sagu. Selanjutnya air kucuran sagu ini dibiarkan mengendap. Endapan sagu itulah yang diolah menjadi aneka makanan bagi masyarakat Asmat. Selain sagu, masyarakat Asmat juga makan ulat sagu yang kaya protein, sayuran segar dan ikan yang diambil langsung dari laut.
Sebagian besar wilayah Asmat terdiri dari hutan. Tak heran apabila masyarakat Asmat memiliki ketergantungan terhadap hutan. Dari hutan mereka bisa makan sagu, membuat perahu dan ukir-ukiran. Hutan Asmat tidak hanya menghasilkan sagu tetapi juga komoditas alam lainnya seperti gaharu, kemiri, kuit masohi, kulit lawang, damar, rotan dan kemendangan.
Tidak hanya hutan. Masyarakat Asmat juga memiliki laut yang kaya ikan. Namun sayangnya masyarakat Asmat tidak terlalu tertarik mengembangkan potensi perikanan di sana. Dari 59.307 jiwa, hanya 0,93 persen yang berprofesi sebagai nelayan. Padahal perairan Asmat memiliki berbagai jenis ikan seperti ikan kakap, cucut, kepiting, udang, teripang dan cumi-cumi.
Saat ini pemerintah daerah Kabupaten Asmat gencar memperkenalkan atraksi alam maupun budaya Asmat sebagai komoditi pariwisata. Bahkan pemda memiliki agenda tahunan festival asmat. Berdasarkan pengalaman yang sudah-susah, festival asmat cukup diminati oleh para pelancong baik domestik maupun manca negara.
Wilayah Asmat yang terkepung oleh pegunungan Jayawijaya dan dikelilingi Laut Arafuru menjadikan Asmat cukup terisolasi dari dunia luar. Untuk mengunjungi Asmat hanya bisa ditempuh lewat jalur udara atau laut. Jalur laut bisa ditempuh denga kapal perintis. Tiket kapal perintis tujuan Merauke-Agats Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Jika cuaca normal perjalanan ditempuh dalam waktu dua hari dua malam. Namun bila cuaca buruk bisa memakan waktu sekitar lima hari.
Anda bisa pula menempuh perjalanan lewat jalur udara. Hanya biayanya lumayan mahal. Ongkos sekali terbang sekitar Rp 800.000. Ada dua lapangan terbang yang biasa disinggahi pesawat Twin Otter Merpati dan Mimika Air yakni Bandara Ewer di Distrik Agats dan bandara di Pantai Kasuari.
Lapangan terbang di Bandara Ewer menggunakan landasan tikar baja berukuran 600x20 meter sementara di Pantai Kasuari permukaan landasannya berupa tanah pasir dan batu yang hanya didarati pesawat Merpati rute Merauke-Pantai Kasuari. Intensitas penerbangan menuju Agats dan Pantai Kasuari seminggu dua sampai tiga kali.
Selain keterbatasan sarana transportasi, wilayah ini belum terjangkau jaringan listrik dan air bersih. Selama ini listrik dipasok melalui disel yang dinyalakan dari pukul 18.00 dan dipadamkan kembali pukul 00.00. Air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga sulit didapatkan mengingat kondisi rawa-rawa. Masyarakat Asmat menggunakan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.
CAHYO AJI
Posting Komentar